Tuesday 28 June 2016

Fonologi dan Cabang-Cabang Fonologi

      


       A.    Pengertian Fonologi

Secara etimologi kata fonologi berasal dari gabungan kata fonyang berarti ‘bunyi’, dan logi yang berarti ‘ilmu’. Sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim diartiakan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang di produksi oleh alat-alat ucap manusia.
Berikut ini pengertian Fonologi menurut para ahli :

1.      Fonologi ialah bagian dari tata bahasa yang memperlajari bunyi-bunyi bahasa (Keraf, 1984: 30).
2.      Fonologi ialah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya (Kridalaksana, 1995: 57).
3.      Fonologi ialah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu (Chaer, 1994: 102).
4.      Fonologi ialah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa (Fromkin & Rodman,1998:96).
5.      Fonologi merupakan studi bahasa yang berkenaan dengan sistem bahasa, organisasi bahasa, serta merupakan studi fungsi linguistis bahasa (Trubetzkoy, 1962:11-12)


Dari beberapa pengertian fonologi menurut para ahli, kelompok kami menyimpulkan bahwa, Fonologi adalah bidang dalam linguistik yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa, membicarakan runtutan bunyi-bunyi dan menyelidiki bunyi-bunyi bahasa. Runtutan bunyi bahasa ini dapat dianalisis atau disegmentasikan berdasarkan tingkat-tingkat kesatuannya. Kemudian segmen-segmen runtutan bunyi itu dapat di segmentasikan lagi sehingga sampai pada satuan-satuan runtutan bunyi yang disebut silabel atau suku kata. Silabel atau suku kata merupakan runtutan bunyi yang ditandai dengan satuan bunyi yang paling nyaring, yang dapat disertai atau tidak oleh bunyi lain, di depannya, di belakangnya, atau sekaligus di depan atau di belakangnya. Bunyi-bunyi bahasa inilah beserta runtutan dan segala aturannya yang menjadi objek kajian cabang linguistik yang disebut fonologi. Jadi, objek kajian fonologi adalah bunyi-bunyi bahasa yang dihasilakan oleh alat ucap atau alat bicara manusia. Menurut status atau hierarki satuan bunyi terkecil yang menjadi objek kajiannya, fonologi dibagi atas dua bagian, yaitu fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik dapat dijelaskan sebagai cabang fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan statusnya, apakah bunyi-bunyi bahasa itu dapat membedakan makna (kata) atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang kajian fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna (kata).




      B.     Cabang-Cabang Fonologi

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa fonologi dapat dibagi menjadi dua cabang, yaitu fonetik dan fonemik. Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai fonetik dan fonologi.

1.      Fonetik
Fonetik adalah cabang lingustik yang meneliti bunyi-bunyi bahasa tanpa melihat apakah bunyi-bunyi itu dapat membedakan makna kata atau tidak.

1.1. Jenis-jenis Fonetik
Berdasarkan di mana beradanya bunyi bahasa itu sewaktu dikaji, fonetik dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

1.1.1.      Fonetik Artikulatoris
Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis yang meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diproduksi oleh alat-alat ucap manusia. Pembahasannya meliputi masalah alat-alat ucap yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa; bagaimana bunyi bahasa dibuat; mengenai klasifikasi bunyi bahasa yang dihasilkan  serta apa kriteria yang digunakan; mengenai silabel; juga mengenai unsur-unsur atau ciri-ciri suprasegmental, seperti tekanan, jeda, durasi, dan nada.

1.1.2.      Fonetik Akustik
Fonetik akustik mempelajari bagaimana bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya. Bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensinya, getarannya, amplitudonya, intensitasnya, dan timbrenya.

1.1.3.      Fonetik Audiotori
Fonetik audiotori meniliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diterima oleh telinga, sehingga bunyi-bunyi itu didengar dan dapat dipahami. Dalam hal ini tentunya pembahasan mengenai struktur dan fungi alat dengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu, kiranya kajian fonetik audiotori lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran.


1.2. Transkripsi Fonetik
Transkripsi fonetik adalah penulisan bunyi-bunyi bahasa secara akurat atau secara tepat dengan menggunakan huruf atau tulisan fonetik. Huruf fonetik ini dibuat berdsarkan huruf (alfabet) Latin yang dimodifikasi, atau diberi tanda-tanda diakritik.






1.3. Alat Ucap
Alat-alat ucap yang terlibat dalam produksi bunyi bahasa adalah sebagai berikut :
1.      Paru-paru (lung)
2.      Batang tenggorok (trachea)
3.      Pangkal tenggorok (laring)
4.      Pita suara (vocal cord) yang di dalamnya terdapat glottis, yaitu celah diantara dua bilah pita suara
5.      Krikoid (cricoid)
6.      Lekum atau tiroid (thyroid)
7.      Aritenoid (arythenoid)
8.      Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)
9.      Epiglotis (epiglotis)
10.  Akar lidah (root of the tongue)
11.  Pangkal lidah (back of the tongue, dorsum)
12.  Tengah lidah (back of the tongue, medium)
13.  Daun lidah (blade of the tongue, laminum)
14.  Ujung lidah (tip of the tongue, apex)
15.  Anak tekak (uvula)
16.  Langit-langit lunak (shoft palate, velum)
17.  Langit-langit keras (hard palate, palatum)
18.  Gusi (alveolum)
19.  Gigi atas (upper teeth, dentum)
20.  Gigi bawah (lower teeth, dentum)
21.  Bibir atas (upper lip, labium)
22.  Bibir bawah (lower lip, labium)
23.  Mulut (mouth)
24.  Rongga mulut (oral cavity)
25.  Rongga hidung (nasal cavity)
Nama-nama latin alat ucap juga perlu diperhatikan karena nama-nama bunyi disebut juga dengan nama latinnya.


1.4. Proses Pembunyian
Alat ucap atau alat bicara dalam proses memproduksi bunyi bahasa dapat dibagi atas tiga komponen, yaitu :

a.       Komponen Subglotal
Komponen subglotal terdiri dari paru-paru (kiri dan kanan), saluran bronkial, dan saluran pernafasan(trakea). Komponen ini disebut juga sistem pernafasan. Fungsi utama komponen subglotal adalah memberi arus udara yang merupakan syarat mutlak terjadinya bunyi bahasa.

b.      Komponen Laring
Komponen laring (tenggorok) merupakan kotak yang terbentuk dari tulang rawan yang berbentuk lingkanran. Dalam rangka proses produksi bunyi, pada laring inilah terjadinya awal mula bunyi bahasa; baik dengan aliran udara egresif maupun aliran udara ingresif.


c.       Komponen Supraglotal
Komponen supraglotal adalah alat-alat ucap yang berda di di dalam rongga mulut dan rongga hidung baik yang menjadi artikulator aktif maupun artikulator pasif.
Secara umum titik artikulasi (pertemuan antara artikulator aktif dan artikulator pasif) yang mungkin terjadi dalam Bahasa Indonesia adalah :
1.      Artikulasi bilabial (bibir bawah dan bibir atas)
2.      Artikulasi labiodental (bibir bawah dan gigi atas)
3.      Artikulasi interdental (gigi bawah, gigi atas dan ujung lidah)
4.      Artikulasi apikodental (ujung lidah dan gigi atas)
5.      Artikulasi apikoalveolar (ujung lidah dan ceruk gigi atas)
6.      Artikulasi laminodental (daun lidah dan gigi atas)
7.      Artikulasi laminopalatal (daun lidah dan langit-langit keras)
8.      Artikulasi lamino alveolar (daun lidah dan ceruk gigi atas)
9.      Artikulasi dorsopalatal (pangkal lidah dan langit-langit keras)
10.  Artikulasi dorsovelar (pangkal lidah dan langit-langit lunak)
11.  Artikulasi dorsouvular (pangkal lidah dan anak tekak)
12.  Artikulasi oral (penutupan arus  udara ke rongga hidung)
13.  Artikulasi radiko faringal (akar lidah dan dinding kerongkongan)


1.5. Jenis-jenis Bunyi Bahasa
Bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat-alat ucap berdasarkan kriteria tertentu dibedakan sebagai berikut :

1.5.1.      Bunyi Vokal, Konsonan, dan Semi Vokal
Bunyi-bunyi vokal, konsonan, dan semi vokal dibedakan berdasarkan tempat dan cara artikulasinya. Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan cara, setelah arus udara keluardari glotis (celah pita suara), lalu arus ujar hanya diganggu atau diubah oleh posisi lidah dan bentuk mulut. Contoh bunyi [i], bunyi [o] dan bunyi [u]. Sedangkan bunyi konsonan terjadi setelah arus ujar melewati pita suara di teruskan ke rongga mulut dengan mendapat hambatan dan artikulator aktif dan artiku;ator pasif. Bunyi semi vokal hanya ada dua yaitu bunyi [w] yang termasuk bunyi bilabial dan bunyi [y] yang termasuk bunyi laminopalatal.

1.5.2.      Bunyi Oral dan Bunyi Nasal
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan keluarnya arus ujar. Bila arus ujar keluar melalui rongga mulut maka disebut bunyi oral. Sedangkan bila keluar melalui rongga hidung disebut bunyi nasal.

1.5.3.      Bunyi Bersuara dan Bunyi Tak Bersuara
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan ada tidaknya getaran pada pita suara sewaktu bunyi itu diproduksi. Bila pita suara turut bergetar pada proses pembunyian maka bunyi suara. Yang termasuk bunyi suara antara lain bunyi [b], [d], dan [g]. Sedangkan bila pita sura tidak bergetar disebut bunyi tak bersuara. Yang termasuk bunyi tak bersuara antara lain bunyi [s], [p], dan [t]

1.5.4.      Bunyi Keras dan Bunyi Lunak
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara ketika bunyi ini diartikulasikan. Sebuah bunyi dikatakan keras (fortis) apabila terjadi karena pernafasan yang kuat dan otot yang tegang. Bunyi [t], [k], dan [s] adalah fortis. Sebaliknya sebuah bunyi dikatakan lunak (lenis) apabila terjadi karena pernafasan lembut dan otot kendur. Bunyi [d], [g], dan [z] adalah lenis.


1.5.5.      Bunyi Panjang dan Bunyi Pendek
Pembedaan kedua bunyi ini didasarka pada lama dan tidaknya bunyi itu diartikulasikan. Baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan dapat dibagi atas bunyi panjang dan bunyi pendek.


1.5.6.      Bunyi Tunggal dan Bunyi Rangkap
Pembedaan ini berdasarkan pada hadirnya sebuah bunyi yang tidak sama sebagai satu kesatun dalam sebuah silabel (suku kata). Bunyi rangkap vokal disebut diftong dan bunyi tunggal vokal disebut monoftong. Bunyi rangkap konsonan disebut klaster. Contoh bunyi rangkap vokal seperti bunyi [a] dan [i]. Contoh bunyi rangkap konsonan seperti bunyi [k] dan [l].


1.5.7.      Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan derajat kenyaringan (sonoritas) bunyi-bunyi yang ditentukan oleh besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi diujarkan. Bunyi vokal pada umumnya mempunyai sonoritas yang lebih tinggi daripada bunyi konsonan. Oleh karena itu, setiap bunyi vokal menjadi puncak kenyaringan setiap silabel.


1.5.8.      Bunyi Egresif dan Bunyi Ingresif
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan dari mana datangnya arus udara dalam pembentukan bunyi itu. Jika arus udara datang dari dalam (seperti dari paru-paru), maka bunyi tersebut disebit bunyi egresif; bila datangnya dari luar disebut bunyi ingresif.


1.5.9.      Bunyi Segmental dan Bunyi Suprasegmental
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan pada dapat tidaknya bunyi itu disegmentasikan. Bunyi yang dapat disegmentasikan, seperti semua bunyi vokal dan bunyi konsonan  adalah bunyi segmental; sedangkan bunyi atau unsur yang tidak dapat disegmentasika, yang menyertai bunyi segmental itu, seperti tekanan, nada, jeda, dan durasi (pemanjangan) disebut bunyi suprasegmental atau non segmental.



1.5.10.  Bunyi Utama dan Bunyi Sertaan
Dalam pertuturan bunyi-bunyi bahasa itu tidak berdiri sendiri, melaikan saling pengaruh-mempengaruhi baik dari bunyi yang ada sebelumnya maupun dari bunyi sesudahnya.


1.6. Bunyi Vokal
Bunyi vokal adalah jenis bunyi bahasa yang ketika dihasilkan atau diproduksi, setelah arus ujar keluar glotis tidak mendapat hambatan dari alat ucap melainkan hanya diganggu oleh posisi lidah, baik vertikal maupun horisontal, dan bentuk mulut.
Bunyi vokal dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.       Tinggi rendahnya posisi lidah
b.      Maju mundurnya lidah
c.       Striktur
d.      Bentuk mulut


1.7. Bunyi Diftong
Konsep diftong berkaitan dengan dua buah vokal dan yang merupakan satu bunyi dalam satu silabel. Namun, posisi lidah ketika mengucapkan bergeser ke atas atau ke bawah. Berikut ini macam-macam diftong :
a.       Diftong Naik
Diftong naik terjadi jika vokal yang kedua diucapkan dengan lidah menjadi lebih tinggi dari pada yang pertama.
b.      Diftong Turun
Diftong turun terjadi bila vokal kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih rendah dari pada yang pertama.
c.       Diftong Memusat
Diftong memusat terjadi bila vokal kedua diacu oleh sebuah atau lebih vokal yang lebih tinggi, juga diacu oleh sebuah atau lebih vokal yang lebih rendah.

1.8. Bunyi Konsonan
Bunyi konsonan dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a.       Tempat Artikulasi
Tempat artikulasi yaitu tempat terjadinya bunyi konsonan atau tempat bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif. Tempat artikulasi disebut juga titik artikulasi.
b.      Cara Artikulasi
Cara artikulasi yaitu bagaimana tindakan atau perlakuan terhadap arus udara yang baru ke luar dari glotis dalam menghasilkan bunyi konsonan.
c.       Berrgetar tidaknya Pita Suara
Yaitu jika pita suara dalam proses pembunyian turut bergetar atau tidak. Bila pita suara itu turut bergetar maka di sebut bunyi bersuara. Jika pita suara tidak turut bergetar, maka bunyi itu disebut bunyi tak bersuara
d.      Striktur
Yaitu hubungan posisi antara artikulator aktif dan artikulator pasif. Misal dalam memproduksi bunyi [p] hubungan artikulator aktif dan artikulator pasif, mula-mula rapat lalu secara tiba-tiba dilepas.
1.9.Unsur Suprasegmental
Unsur suprasegmental dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.       Tekanan
Tekanan atau stres menyangkut masalah keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudo melebar bersamaan dengan tekanan keras. Sebaliknya sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat, sehingga amplitudo menyempit bersamaan dengan tekanan lunak.
b.      Nada
Nada atau pitch berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi. Sebaliknya jika diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai juga dengan nada rendah.
c.       Jeda atau Persendian
Jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujaran. Disebut jeda karena adanya hentian, dan disebut persendian karena di tempat perhentian itulah terjadinya persambungan antara dua segmen ujaran.


1.10.  Silabel
Silabel atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran. Satu silabel biasanya melibatkan satu bunyi vokal, atau satu bunyi vokal dan satu konsonan lebih. Silabel sebagai satuan ritmis terkecil mempunyai puncak kenyaringan (sonoritas) yang biasanya jatuh pada sebuah bunyi vokal. Kenyaringan atau sonoritas, yang menjadi puncak silabel terjadi karena adanya ruang resonansi berupa rongga mulut, rongga hidung, atau rongga-rongga lain di dalam kepala atau dada.




















2.      Fonemik
Fonemik adalah cabang kajian fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna (kata).

2.1. Gugus Fonem dan Deret Fonem
Gugus fonem adalah dua buah fonem yang berbeda tetapi berada dalam sebuah silabel atau suku kata. Sedangkan yang dimaksud deret fonem adalah dua buah fonem yang berbeda, berada dalam silabel yang berbeda, meskipun letaknya berdampingan.

2.2. Distribusi Fonem Bahasa Indonesia
Yang dimaksud dengan distribusi fonem adalah letak atau beradanya sebuah fonem di dalam satu ujaran, yang disebut morfem. Secara umum fonem dapat berada pada posisi awal kata, di tengah kata, maupun di akhir kata.

2.3. Perubahan Bunyi/Fonem
Di dalam praktik bertutur fonem atau bunyi bahasa itu tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan di dalam suatu runtutan bunyi. Oleh karena itu, secara fonetis maupun fonemis, akibat dari saling berkaitan dan pengaruh mempengaruhi bunyi-bunyi itu bisa saja berubah.
Penyebab perubahan itu dapat diperinci menjadi :

2.3.1.      Akibat adanya Koartikulasi
Koartikulasi disebut juga artikulasi sertaan, atau artikulasi kedua, adalah proses artikulasi lain yang menyertaiterjadinya artikulasi utama, artikulasi primer, atau artikulasi pertama. Koartikulasi ini terjadi karena sewaktu artikulasi primer untuk memproduksi bunyi pertam berlangsung, alat-alat ucap sudah mengambil ancang-ancang untuk  membuat atau memproduksi bunyi berikutnya. Akibatnya, bunyi pertama yang dihasilkan agak berubah mengikuti ciri-ciri bunyi kedua yang akan dihasilkan.
Dalam peristiwa ini dikenal adanya proses-proses, yaitu :
a.       Labialisasi
b.      Retrofleksi
c.       Palatalisasi
d.      Velarisasi
e.       Faringalisasi
f.       Glotalisasi


2.3.2.      Akibat Pengaruh Bunyi Lingkungan
Akibat pengaruh bunyi lingkungan akan terjadi dua peristiwa perubahan, yaitu :
a.       Asimilasi
Yang dimaksud asimilasi ialah perubahan bunyi secara fonetis akibat pengaruh yang berada sebelum atau sesudahnya. Jika arah pengaruh ke depan maka disebut asimilasi progresif, sedangkan jika arah pengaruh ke belakang maka disebut asimilasi regresif.


b.      Disimilasi
Disimilasi merupakan proses kebalikan dari asimilasi. Jika dalam asimilasi dua buah bunyi yang tak sama diubah menjadi sama, maka dalam hal ini asimilasi dua buah bunyi yang sama diubah menjadi dua buah bunyi yang berbeda atau tak sama.


2.3.3.      Akibat Distribusi
Yang dimaksu dengan distribusi adalah letak atau tempat suatu bunyi dalam satu satuan ujaran. Dalam distribusi ini akan terjadi perubahan bunyi yang di sebut :
a.       Aspirasi
b.      Pelepasan
c.       Pemaduan
d.      Harmonisasi Vokal
e.       Netralisasi


2.3.4.      Akibat Proses Morfologi
Perubahan bunyi akibat adanya proses morfologi lazim disebut dengan istilah morfofonemik atau morfofonologi. Dalam hal ini terjadi proses :
a.       Pemunculan Fonem
b.      Pelepasan Fonem
c.       Peluluhan Fonem
d.      Pergeseran Fonem
e.       Perubahan Fonem


2.3.5.      Akibat dari Perkembangan Sejarah
Perubahan bunyi akibat dari perkembangan sejarah ini tidak berkaitan dengan kajian fonologi, melainkan berkenaan dengan pemakaian sejumlah unsur leksikal di dalam masyarakat dan budaya. Perubahan yang berkenaan dengan perkembangan sejarah pemakaian bahasa ini antara lain ;
a.       Kontraksi (penyingkatan)
b.      Metatesis
c.       Diftongisasi
d.      Monoftongingasi

e.       Anaptiksis

No comments :

Post a Comment