Friday 14 October 2016

Dasar Mengapresiasi Sastra



Apresiasi Sastra

Dasar
Kita membawa sastra  dengan memperlakukan karya sastra itu sebagai sesuatu yang bermakna bagi kehidupan batin kita. Kita menempatkan karya sastra seperti kita berhadapan denganmitra dialog dalam sebuah percakapan yang mengasikan. Oleh karena itu, pada saat membaca karya sastra kita biarkan diri “mengalir” bersama dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, kita masuk secara total ke dalam dunia rekaan kata , dunia dalam kata.

Menghargai Sastra
Pelibatan pikiran dan perasaan dalam dunia cipta sastra hanya dapat dilakukan dengan sikap menghargai sastra. Sikap ini didasari oleh keyakinan bahwa sastra itu sesuatu yang bermakna. Ada dua hal yang dapat diperoleh dari membaca sastra dan pustaka yang relevan, yakni pengetahuan sastra dan pengalaman kesastraan. Yang disebut pertama bersinggungan dengan konsep-konsep dasar sastra, ilmu dan teori sastra, serta ilmu lain yang relevan. Yang disebut kedua menyangkut pengalaman membaca karya sastra konkret.

Pengetahuan Sastra
Dengan pengetahuan sastra, kita dapat memberikan argumentasi tentang mengapa sebuah karya itu menarik. Kita juga dapat menjelaskan bernilai tidaknya atau bermutu tidaknya sebuah karya sastra. Pengetahuan sastra dalam apresiasi sastra memberikan wawasan penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang berlaku dalam dunia ilmu pengetahuan.

Pengalaman Membaca
Pengalaman dalam membaca sastra kita sebut saja sebagai pengalaman keastraan. Dengan pengalaman kesatraan ini, kita dapat dengan lebih muah menangkap esensi karya sastra itu. Dengan pengalaman membaca karya sastra, pemahaman itu terasa lebih gampang karena sering terjadi antarhubungan teks sastra itu, lebih lebih yang menyangkut tema.

Tuesday 11 October 2016

Pengertian Kurikulum Menurut Para Ahli



Pengertian Kurikulum

Istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu), dan pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga. Saat ini kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari awal sampai di akhir untuk memperoleh mendali/penghargaan. Kemudian pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti bahwa siswa telah menempuh kurikulum yang berupa rencana pelajaran, sebagaimana halnya seorang pelari telah menempuh suatu jarak antara satu tempat ke tempat lainnya dan akhirnya mencapai tahap akhir.

Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu. Istilah kurikulum memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dengan dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya, sesuai dengan titik berat inti dan pandangan dari pakar bersangkutan. Pengertian kurikulum senantiasa berkembang terus sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan. Dengan beragamnya pendapat mengenai pengertian kurikulum, maka secara teoretis agak sulit menentukan satu pengertian yang dapat merangkum semua pendapat. Berikut ini merupakan pendapat beberapa ahli mengenai pengertian kurikulum:

  • J. Galen Saylor dan William M. Alexander dalam buku Curriculum Planning for Better Teaching and Learning (1965) menjelaskan arti kurikulum sebagai segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruangan kelas, di halaman sekolah atau di luar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi juga apa yang disebut dengan kegiatan ekstra-kurikuler.
  • Harold B. Albertycs dalam Reorganizing the High School Curriculum (1965) memandang kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran, akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan luar kelas, yang berada di bawah tanggung jawab sekolah. Definisi melihat manfaat kegiatan dan pengalaman siswa di luar mata pelajaran tradisional.
  • B. Othanel Smith, W.O. Stanley dan J. Harlan Shores memandang kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
  • William B. Ragan, dalam buku Modern Elementary Curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebaagai seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak di bawah tanggung-jawab sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan sosial antara guru dan murid, metode mengajar, cara mengevaluasi termasuk dalam kurikulum.
  • J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary School Improvemant (1973) juga menganut definisi kurikulum yang luas. Menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi, dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran. Ketiga aspek pokok, program, manusia dan fasilitas sangat erat hubungannya sehingga tidak mungkin diadakan perbaikan jika tidak diperhatikan ketiga-tiganya.
  • Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam bukunya Changing the Curriculum : a Social Process (1946) ia mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik dan personalia (termasuk penjaga sekolah, pegawai administrasi dan orang lainnya yang ada hubungannya dengan murid-murid). Jadi kurikulum meliputi segala pengalaman dan pengaruh yang bercorak pendidikan yang diperoleh anak di sekolah. Definsi Miel tentang kurikulum sangat luas yang mencakup yang meliputi bukan hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, apresiasi, cita-cita serta norma-norma, melainkan juga pribadi guru, kepada sekolah, serta seluruh pegawai sekolah.
  • Edward A. Krug dalam The Secondary School Curriculum (1960) kurikulum dilihat sebagai cara-cara dan usaha untuk mencapai tujuan persekolahan. Ia membedakan tugas sekolah mengenai perkembangan anak dan tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat, dan lain-lain. Ia dengan sengaja menggunakan istilah “schooling” untuk menjelaskan apa sebenarnya tugas sekolah. Memborong segala tanggung jawab atas pendidikan anak akan merupakan beban yang terlampau berat, sehingga tidak mungkin dilakukan dengan baik. Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan. Apa yang direncanakan biasanya bersifat idea, suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara yang akan dibentuk. Kurikulum ini lazim mengandung harap-haapan yang sering berbunyi muluk-muluk.



Dari beberapa pendapat para ahli di atas kelompok kami berpendapat bahwa kurikulum merupakan suatu kegiatan yang telah dirancang yang memberikan pengalaman belajar atau pendidikan bagi siswa, serta mampu dijadikan sebagai suatu pedoman untuk penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.